Raut wajahnya masih menyisakan
kesedihan. Betapa tidak, rumah berdinding gedeg ukuran 7 m X 3
m yang setiap hari dihuni untuk berteduh
dari dingin dan panas harus dirobohkan. Pasalnya, rumah
terpencil di tepi
kebun singkong itu nyaris
roboh. Berbekal hikmat Tuhan, Mak Yem segera melaporkan hal ini pada pengurus gereja GBI Pasirian. Sebagai jemaat
yang kurang mampu, dia hanya bisa mengadu tanpa bisa berbuat banyak. Laporan direspon
cepat oleh pihak gereja.Sabtu, 21 Juli 2012 Tim Bedah Rumah GBI
yang dipelopori Bpk. Steve segera membedah rumah nenek sebatang kara tersebut.
Siapakah sebenarnya Mak Yem itu ? Saat
Tim CMM melacak keberadaan nenek bernama lengkap Sukiyem (70), rumahnya memang
sudah dibongkar. Tumpukan genteng dan onggokan kayu lapuk berserakan di
sana sini. Untuk sementara nenek renta itu tidur di bawah pohon pisang bersama
tumpukan perkakas rumahnya.
Mak Yem menuturkan, bahwa dia sudah hampir 8 tahun menempati rumah di belakang tempat praktek Dokter Bayu, Kebonan Pasirian. Bukan
rumah sendiri. Dia menyewamulai dari harga sewa 25 ribu sampai naik 100 ribu
rupiah. “Ketika harga sewa menjadi 100 ribu, ada jemaat yang mengontrakan aku
sampai 5 tahun,” tuturnya lugu. Ditambahkan, selama menempati rumah tersebut,
dia tidak bisa memperbaikinya sebab tiada biaya.
Sebelum menjadi jemaat GBI Pasirian, dahulu
Mak Yemtinggal serumahbersama2 anaknya di sekitar pasar Patok Condro. Suaminya telah meninggal dunia. Seorang anak perempuannya juga meninggal dunia karena sakit. Suatu ketika, Mak
Yem sakit parah selama 3
bulan. Karena tak ada biaya berobat, dia pun menyerah dengan penyakitnya. Tetapi kuasa
Tuhan menjamahnya. Lewat lawatan doa Tim Doa GBI, akhirnya Mak Yem sembuh. “Aku
berjanji kepada Tuhan Yesus. Apabila aku sembuh, aku akan mengiring Tuhan sampai mati.Semenjak ikut Tuhan, anak lelakiku menjauhiku.Kerapkali aku merindukan anak dan cucuku yang
katanya kini tinggal di Turen,” cerita Mak Yem mengenang
dengan linangan air
mata yang tak terbendung.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari, Mak Yem menekuni pekerjaan sebagai pemulung. Bukan membeli rongsokan, tetapi leles barang-barang
bekas di tempat sampah. Penghasilannya tak
menentu. Terkadang sehari hanya mendapat 5 ribu, kadang 10 ribu rupiah. Banyak atau
sedikit penghasilannya tergantung dari kondisi fisiknya. Kalau badannya sehat, berarti
dia bisa leles banyak rongsokan di
tempat jauh. Jika penyakit darah tinggi dan sesak nafasnya kambuh, meski memaksakan diri,hasilnya tetap sedikit. Semua
dilakukan dengan berjalan kaki dari tempat sampah yang satu ke tempat sampah
yang lain.
Nah, barangkali Mak Yem sekarang boleh
bernafas lega. Rumahnya yang reyot, telah direhab total. Atap gentengnya sekarang
sudah diganti asbes anti bocor. Kayu-kayu yang lapuk telah disulapdengan kayu
yang lebih kuat. Meskipun demikian,
tanah yang ditempati rumahnya tetap
milik orang lain. Itu berarti, rumah ditepi kebun singkong tersebut bisa dibongkar kapan saja bila sang pemilik menjual
tanahnya kepada orang lain. Menanggapi hal
ini, Mak Yem cuma berserah dengan iman, “Semua yang aku punya, hanyalah milik Tuhan.Meski di usia tuaku ini aku harus
kehilangan anak dan rumahku, imanku tidak akan berpaling dari Tuhan Yesus. Sebab, Yesuslah yang menjaga kehidupanku selama ini.
Dialah satu-satunya hartaku yang paling berharga.” (TimCMM/Mws/bambangmws.blogspot.com)
Mantap sekali infonya mr...
BalasHapus