Jumat, 15 Juni 2012

tak ada ongkos becak


         Rumah kontrakannya sangat sederhana, tetapi cukup bersih dan rapi. Satu kamar,  ubinnya berlubang-lubang, tiang penyangga rumahnya mulai lapuk dimakan rayap. Apabila turun hujan, air berebut menerobos atap rumahnya yang bocor di sana sini. Tidak ada satu pun barang berharga di dalam rumah berdinding gedek tersebut. Hanya ada sebuah alat pasang gigi kuno  warisan suaminya (alm, 1968). Alat yang terbuat dari logam besi itu dimilikinya sejak tahun 1942. Lantas, siapakah penghuni rumah kecil yang berlokasi di belakang Toko Sinar Terang Pasirian  itu ? Ternyata penghuninya adalah seorang nenek tua bernama Tri Untari, akrab disapa Mak Du.

     Membuka percakapannya dengan Tim CMM, nenek yang mempunyai nama Tionghoa: Tan Tjien Ik Niang mengaku, dia menetap di Pasirian bersama suaminya sejak tahun 1949. Sebelumnya dia tinggal di kota kelahiran, Lumajang. Menurutnya, dahulu Pasirian sangat sepi. Pemukimannya tidak sepadat sekarang. Di Pasirian inilah, dia bersama suaminya yang bekerja sebagai tukang gigi keliling tsb membesarkan ke empat anaknya. “Dulu, rumahku ada di pinggir jalan raya. Karena kebutuhan ekonomi, rumah kujual. Sampai sekarang aku nggak punya rumah sendiri,” cerita Mak Du mengenang. Kini anaknya tinggal satu, sementara ketiga anaknya yang lain sudah meninggal dunia. Anak terakhir, Du, meninggal karena kecelakaan di Lumajang.

           Untuk menopang kehidupan sehari-hari, tidak ada usaha lain yang dikerjakannya, kecuali hanya mengandalkan keterampilan warisan suaminya.Yakni, memasang gigi palsu, menambal gigi berlubang, atau meratakan gigi (pangur gigi). Pasiennya langka sekali. “Bayangkan, 6 bulan terakhir ini hanya ada 1 orang yang datang ke sini untuk pasang gigi. Ya, mau apa lagi. Hanya inilah yang bisa aku lakukan dengan kondisiku yang seperti ini. Untungnya aku dapat jatah beras dari gereja GBI dan raskin dari pemerintah,” ujar nenek yang hidup sebatang kara ini. Tetapi dia bersyukur karena anaknya yang bernama An (di Pasirian) kerapkali menjenguk keberadaannya.

       Lebih lanjut, nenek yang berlatar Katholik tsb mengungkapkan bahwa dia mengalami pertobatan menjadi anak Tuhan  setelah kenal dan diajak Ibu Sumiyak untuk ikut beribadah di GBI Pasirian. Sejak saat itulah, dia menjadi jemaat GBI. Kegiatan ibadah yang diikuti adalah ibadah minggu pagi. “Aku pergi ke gereja selalu berjalan kaki. Jarang sekali naik becak. Selain berolah raga, ya terus terang aku nggak ada ongkos becak. Seringkali setiba di gereja orang-orang mengatakan, sudah tua kok kesenangannya jalan kaki. Kalau ibadah doa malam, aku nggak pernah ikut karena takut ramainya kendaraan di jalan,” tutur bobo yang rumahnya hanya diterangi satu lampu listrik 10 wat, saluran dari tetangganya.

            Saat ditanya pengalaman rohaninya, nenek yang mempunyai kebiasaan minum air mentah sejak kecil  ini  menceritakan, sejak ikut Tuhan dia merasakan kehidupannya ada suka cita. Jarang sekali dia sakit. Malah kakinya terasa linu-linu bila duduk terlalu lama. Oleh sebab itu, dia sering jalan-jalan di sekitar rumahnya. Dia juga aktif terlibat dalam kegiatan PKK di lingkungan RT. Setiap sore, selesai nonton TV di rumah tetangganya, jam 6, dia pulang dan langsung tidur.

         Semangat hidup nenek tua yang selalu enerjik ini patut menjadi teladan. Dia sandarkan segala kesendirian dan ketidakberdayaannya hanya kepada Tuhan Yesus.  “Tuhan Yesus itulah sandaran hidupku. Dialah yang memberi kekuatan aku. Dialah yang memeliharaku. Umurku memang sudah tua sekali, 87 tahun. Kalau bukan Dia yang menopangku, aku sudah tak berdaya,” ujar Mak Du mengungkapkan adanya campur tangan Tuhan dalam hidupnya pada akhir wawancara bersama Tim CMM di rumahnya. (Tim CMM/Mws/bambangmws.blogspot.com)

Senin, 11 Juni 2012

kerasan di rumah tuhan


Umurnya masih sangat muda. Tahun 2012 usianya baru menginjak 16 tahun. Tercatat sebagai siswa SMAN 1 Pasirian, kelas 1. Namun tekadnya dalam melayani pekerjaan Tuhan sungguh luar biasa. Siapakah gerangan anak muda pada tamu kita kali ini ? Dia adalah Henok Lahirno Putra, yang lebih akrab disapa Henok.

“Aku mulai membantu pelayanan di GBI Pasirian sejak SMP kelas 1. Awalnya, aku  diajak oleh Pak Woro untuk diajari ngedram (drum). Eeh, nggak tahunya aku malah jadi kerasan sobo (berada) di lingkungan gereja,” pengakuan Henok yang menyukai sayur kelor ini mengawali percakapannya dengan Tim CMM.

Sebagai relawan gereja, banyak hal yang harus dikerjakan oleh jejaka berbadan gendut ini. Selain sebagai drummer musik gereja,dia pun anggota tim multimedia. Multimedia, maksudnya : tim yang mempersiapkan segala keperluan sebelum dan selama ibadah berlangsung. Yakni, mulai dari mengatur kabel- mik, sound, mengecek monitor LCD, menghidupkan AC, dan lain-lain yang bisa dia kerjakan.

“Ada acara gereja atau tidak, sepulang sekolah aku pergi ke gereja atau pastori. Kadang aku ikut latihan musik, doa malam, komsel, dll. Jam 4 sore aku memberi les musik (drum) untuk beberapa anak jemaat. Malamnya, aku belajar dan tidur di pastori, supaya  paginya aku bisa ikut doa pagi di gereja,” tutur abege ganteng yang di sekolahnya menjabat bendahara OSIS dan ketua kelas.

Pengalaman pribadinya bersama Tuhan adalah sewaktu TK, dia pernah jatuh serta  kepalanya bocor akibat membentur lantai.  Sepulang dari rumah sakit, dia didoakan oleh hamba Tuhan GBI Pasirian. Sembuh.Sedangkan berkat Tuhan yang dia rasakan selama terlibat dalam pelayanan,kerohaniannya tambah matang serta terhindar dari  pergaulan anak muda yang merusak moral.

Lahir di tengah sebuah keluarga sederhana dengan 2 bersaudara. Abangnya,Bambang Purwantoko alias Mas Bembi (26), juga pemuda GBI. Ayahnya, Bpk. Batin, dan Ibunya, Ibu Sri Rejeki  tinggal di Desa Condro. Kedua orang tuanya pun warga jemaat yang sama. “Aku ingin melayani pekerjaan Tuhan. Di rumah Tuhan, aku pasrahkan segala harapan dan cita-citaku agar dibentuk oleh kuasa-Nya,” ujar Henok menjelaskan motivasi rohaninya dalam melayani pekerjaanTuhan. (Tim CMM/ Mws/bambangmws.blogspot.com)

Minggu, 10 Juni 2012

pak jenggot bermain sulap


Setelah semalam membawakan  firman dalam KKR kaum muda, Minggu pagi (29/1) Pak Jenggot yang lihai bermain sulap, hadir di depan jemaat GBI Pasirian. Di hadapan ratusan jemaat yang memadati gereja, Pak Jenggot alias Pdt. Handoyo tanpa canggung berkotbah dengan bahasa yang renyah sambil diselingi humor serta sekali-kali juga mengeluarkan trik sulapnya. Tepuk tangan dan senyum simpati jemaat tampak tak pernah surut sepanjang penyampaian firman.

Kedatangan penginjil asal Jakarta itu memang sudah diumumkan oleh pihak GBI Pasirian seminggu sebelumnya. Maka dari itu tak heran jika seluruh kursi yang biasanya banyak yang kosong, Minggu itu terisi penuh. “Saya tidak tahu, apakah terisinya seluruh kursi gereja pada ibadah Minggu ini ada hubungannya dengan kehadiran Pendeta Handoyo. Harapan saya, jemaat tidak hanya tertarik sulapnya saja, tetapi yang terpenting adalah firman yang dibawakannya bisa menjadi renungan yang penuh kuasa, “ ujar salah satu sumber yang tidak mau disebutkan namanya.

Dalam kotbah satu jam itu, pendeta kelahiran Lamongan dengan nama lengkap Dwi Handoyo (52) tersebut mengambil ayat : Yoh. 36 : 26 – 27, dan 2 Kor. 6 : 2. Ayat-ayat tersebut dijabarkan dalam beberapa pesan sehubungan dengan tahun baru 2012. Yaitu, hati manusia baru yang harus : di-destruksi (dibongkar), di-rekonstruksi (dibangun kembali),  di-finishing (diperindah/dihaluskan). Pemaparan firman yang diselingi sulap itulah yang menarik perhatian jemaat untuk mengikuti setiap pesan kotbah tanpa jenuh.

“Sulap itu bukan black magic  atau ilmu hitam. Permainan sulap hanyalah keterampilan bermain trik. Jadi, saya menyampaikan firman Tuhan dengan selingan sulap sebenarnya supaya jemaat lebih terfokus dengan kotbah saya, dan bukan sebaliknya. Atraksi sulap hanyalah media yang telah saya sesuaikan dengan tema kotbah,” tutur Pdt. Handoyo saat dimintai alasan mengapa harus memakai sulap ketika berkotbah. Apa yang telah disampaikan oleh pendeta yang sekaligus seorang pengusaha itu memang juga sudah dijelaskan kepada jemaat sebelum menyampaikan firman Tuhan. Hal ini sangat penting supaya jemaat tidak salah persepsi memahami kotbah dengan memakai media sulap.

Usai ibadah Minggu pagi, pendeta yang  bermotto iman : TAAT (Turut Allah Aman Terkendali) tersebut masih harus mengisi ibadah Anak Sekolah Minggu.Bertempat di ruang gereja GBI, firman yang disampaikan Pak Handoyo sangat menarik perhatian anak-anak.  Selain trik sulapnya bisa menghibur, pesan firman yang disampaikan tetap bisa dipahami mereka.Dalam menyampaikan firman Pak Handoyo memang bisa membaur bersama anak-anak, baik gaya dan bahasanya. “Om Jenggot, lain kali datang lagi ke Pasirian ya...?!” rengek Yosia saat menyalami Pak Jenggot usai kotbah untuk anak-anak. (Tim CMM/Mws/bambangmws.blogspot.com)

Jumat, 08 Juni 2012

kagumi gbi pasirian


Minggu (29/4), jemaat GBI Pasirian mendapat siraman berkat rohani dari Ibu Pdt. Amellia Rumbia (38). Beliau seorang dosen tetap di STT SATI (Sekolah Tinggi Theologia Satya Bakti) Malang. Bersama tim panggung boneka, Ibu berdarah Papua yang telah menetap di kota Malang ini berkesempatan melayani ibadah minggu pagi. Selain itu, beliau juga sebagai ketua tim panggung boneka yang melayani anak-anak sekolah minggu GBI. Menurut wanita yang tengah mengandung anak kedua ini, tim panggung boneka yang dipimpinnya sudah dua kali mengadakan pelayanan di Pasirian.

Saat diwawancarai Tim CMM tentang  kesannya terhadap GBI Pasirian, wanita berkacamata minus tsb mengatakan, “Saya berkesan sekali dengan disiplin yang dimiliki jemaat. Bayangkan, sebelum jam ibadah dimulai, jemaat sudah hadir memenuhi kursi gereja. Begitu pula dengan multimedianya. Saya terkagum dengan tampilan berita gerejanya. Kemampuan berteknologinya setaraf dengan gereja kota besar. Alat - alat musiknya pun sangat bagus.”

Menurut Dosen yang sekaligus alumnus STT SATI (1998), apa yang ada di GBI Pasirian saat ini memang tidak lepas dari berkat Tuhan. Tentunya, semua harus bisa dipertahankan serta lebih dioptimalkan lagi untuk memuliakan nama Tuhan. “Saya yakin, roh semangat serta disiplin untuk memuliakan nama Tuhan akan tetap dipertahankan oleh Jemaat GBI Pasirian,” tutur Ibu Amellia pada pungkasan wawancaranya dengan Tim CMM. (Tim CMM/Mws/bambangmws.blogspot.com)

Rabu, 06 Juni 2012

sekali yesus, tetap yesus


Penampilannya rapi sekali. Bajunya selalu dimasukkan. Topi veteran  tak pernah lupa dikenakannya. Meskidalam setiap melangkah dia dituntun dengan tongkat kecil, tetapi pijakan kakinya tak pernah ragu. Setiap Jumat malam dan Minggu pagi, pria bertubuh pendek ini senantiasa hadir di gereja GBI Pasirian untuk beribadah. Bagi jemaat tentu sudah mengenal dengan sosok kakek bersahaja ini. Dia adalah Pak Rokim (70), penyandang tuna netra, jemaat senior GBI Pasirian.

Mengawali wawancara dengan Tim CMM, kakek yang pendengarannya masih tajam ini mengaku bahwa dia menjadi anak Tuhan tidak dari kecil. Ada suatu peristiwa rohani yang membuatnya mengenal Tuhan. Ketika musibah fatal yang membuat matanya menjadi buta (umur 30), dia merasa dikuatkan oleh  tim doa yang kala itu selalu berkunjung ke rumahnya. Percikan air gamping (kapur) yang panas mengenai kedua matanya. Sebelum kedua matanya menjadi parah, dia masih bisa melanjutkan pekerjaannya sebagai tukang labur rumah, tukang angkut air, kuli bangunan, dll. Lama kelamaan mata itu pun buta total.

Kepedihan hidupnya tidak berhenti sampai di sini. Mengetahui kondisi Pak Rokim yang tidak bisa diharapkan lagi, si istri meninggalkannya begitu saja. Ke-4 anaknya yang masih kecil-kecil sempat  terlantar. Tetapi Tuhan itu baik. Tuhan menyatukan keluarga Pak Rokim bersama anak-anaknhya.Sekarang semua anaknya telah berkeluarga. Kekuatan doa dan penghiburan yang terus dilakukan oleh tim doa GBIinilah yang menguatkannya untuk tetap bertahan hidup sampai sekarang.  “Aku pasrahkan semuanya kepada Tuhan. Ini adalah bagian dari perjalanan hidupku. Doaku yang tak pernah henti adalah agar semua anakku kembali ikut Tuhan. Karena dulu ketika mereka masih kecil, mereka ikut Tuhan, “papar kakek yang pernah mengenyam pendidikan SR (SD) pada jaman Jepang ini.

Diceritakan pula, dia bertobat menjadi anak Tuhan ketika pendetanya Bapak Tuhu. Dia hafal dengan 3 nama pendeta yang pernah memimpin GBI, yaitu : Pdt. Tuhu, Pdt. Zakeus, dan Pdt. Fifie Layantara (sekarang). Perhatian pihak gereja dan jemaat terhadap dia dan keluarganya sangat luar biasa. Saat aku pulang pergi ke gereja mereka  membayar becakku, menuntunku, memberiku baju, dll. Aku tidak bisa membalasnya kecuali dengan ucapan terima kasih serta mendoakan supaya Tuhan memberkati usaha mereka,” ungkap sang kakek yang hafal dengan jadwal ibadah  gereja.

Sementara itu Suwarni (40), anak perempuan ke-3 Pak Rokim, menuturkan bahwa ayahnya tidak pernah rewel dalam hal apa pun di rumah. “Soal makan, biasanya  saya yang mengambilkan. Takutnya nanti tidak tahu tempatnya. Kalau mandi,  biasanya Bapak  pergi sendiri ke sungai dekat rumah. Dia sudah tahu jalannya.Dia memilih sendiri pakaiannya bila mau ke gereja. Dia  cocoknya sama saya saja. Saya tak pernah menuntut apa-apa darinya. Malah saya ingin terus merawatnya,” ujar ibu berputri satu yang setiap sore berjualan nasi jagung dan nasi pecel di pos Ledok dekat rumahnya.

Pak Rokim yang tuna netra memang sudah tua. Tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan dengan kondisinya yang seperti ini.  Meskipun kedua matanya buta dan harus meraba-raba, dia tetap setiapergike gereja untuk mencari Tuhan. “Aku boleh kehilangan penglihatanku. Namun aku tidak boleh kehilangan Yesus. Sekali Yesus, tetap Yesus !” tegas kakek asli Pasirian ini pada akhir wawancarannya dengan Tim CMM. (Tim CMM/Mws/bambangmws.blogspot.com)

ada rencana tuhan


 Postur badannya tidak terlalu tinggi, namun  langkahnya  mantap dan pasti. Senyum ramahnya senantiasa dibagikan kepada setiap orang yang ditemui. Orangnya supel dalam pergaulan. Siapakah gerangan orang ini? Dia adalah Hari Prasetyanto, yang lebih diakrab disapa Pak Hari.

Pria kelahiran Kediri (1973) ini merupakan salah satu tenaga pengajar SDLB Pelangi Kasih Pasirian. Di sekolah, Pak Hari bertugas menerapi anak-anak berkebutuhan khusus. “Pada mulanya saya tidak mengerti tentang pijat refleksi dan akupuntur (tusuk jarum). Saya bisa pijat refleksi secara otodidak (belajar sendiri). Sedangkan ilmu akupuntur, saya dapatkandari Prof. Sutandyo (Surabaya) yang didatangkan Om Ishak ke Pasirian. Dengan ilmuitu saya menerapi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah,” ujar sarjana STIE Malang Kucewara waktu ditanya asal-usul keahlian terapi yang dikuasainya.

Sebelum Tuhan memanggilnya ke Pasirian, pria berputra satu ini pernah menekuni beberapa pekerjaan di Malang. Dia pernah bekerja sebagai sales sebuah perusahaan, berjualan bunga, dan berjualan ikan segar keliling. Semua pekerjaan itu dilakoninya dengan penuh ketabahan hati. Kini Pak Hari terpanggil untuk melayani Tuhan sebagai tenaga pengajar bagian fisio terapi di SDLB Kristen Pelangi Kasih.

Selain sebagai terapis, dia juga salah satu tenaga relawan (cadangan) antar jemput murid SD Pelangi Kasih dan warga jemaat GBI Pasirian. “Untuk urusan antar jemput, saya harus bangun dan berangkat jam 5 pagi. Kalau terlambat bangun, anak-anak bisa terlambat sekolah, dan jemaat bisa terlambat ke gereja,” tutur pria yang sejak SMA  mahir mengemudikan mobil  ini memberikan alasan.

Di rumah Perum Nguter, Pak Hari tinggal bersama putra semata wayang dan ibunya. Anaknya, Miko (Agus Setyowidjatmiko), kini duduk di bangku kelas 2 SD Kr. Pelangi Kasih.Sementara istrinya sudah 6 tahun ini  mengadu nasib di negeri orang sebagai TKW. Menurutnya, pendidikan anak adalah hal utama yang harus diperhatikan. Meskipun disibukkan setumpuk pelayanan, perannya sebagai single parent tetap diutamakan. “Sepulang sekolah, Miko saya suruh untuk istirahat. Habis istirahat, saya antarkan les pelajaran. Kadang jika tidak ada les, ya terpaksa saya ajak untuk ikut terapi sore di sekolah. Hari Minggu dia harus sekolah minggu,” ujar pria yang kesukaannya pisang goreng dan minum kopi ini menjelaskan pendidikan anaknya selama tanpa istri.

“Keterampilan pijak refleksi,  akupuntur, dan driver (sopir) yang saya miliki merupakan anugerah Tuhan. Karenanya, akan saya pakai untuk melayani pekerjaan Tuhan. Dari Ampelgading Malang, Tuhan mengirim saya ke Pasirian. Saya yakin, Tuhan mempunyai rencana terindah buat saya sekeluarga,” ungkap Pak Hari saat ditanya dorongan rohani yang menguatkannya untuk selalu melayani pekerjaan Tuhan di Pasirian. (Tim CMM/Mws)

Selasa, 05 Juni 2012

kopral wagiyo setia melayani


Dingin udara malam terasa menusuk tulang. Namun lelaki tua berjaket lusuh itu tetap bersandar waspada di pintu gerbang pastori GBI Pasirian. Malam itu (jam 12) Tim CMM memang sengaja menemuinya  untuk berwawancara tentang kisah hidupnya. Pak tua yang jalannya sudah tidak setegap masa mudanya tersebut  akhirnya bersedia untuk berbagi cerita. Siapakah kakek tua itu ? Dia adalah Wagiyanto (70). Lelaki kelahiran Grobogan (Jateng)  yang lebih akrab disapa Pak Wagiyo adalah penjaga malam gedung GBI Pasirian dan sekolah Pelangi Kasih.

“Sudah 12 tahun saya menjadi penjaga malam di GBI Pasirian. Selama itu pula saya tidak pernah tidur malam di rumah. Biarpun selalu begadang di luar dengan udara dingin, Tuhan senantiasa menjaga kesehatan saya, sehingga saya tetap sehat-sehat saja sampai sekarang.Inilah yang menguatkan saya untuk tetap melayani pekerjaan Tuhan,” tutur Pak Wagiyo mengawali perbincangannya.

Setelah pensiun dari dinas kemiliteran AD (pasukan arhanud/arteleri pertahanan udara) dengan pangkat terakhir kopral (1988), pria yang pernah ditugaskan menumpas DI/TII Kartosuwiryo Jawa Barat (1960)  ini tidak mau menganggur. Dia pernah menggarap lahan pertanian milik Kodim Lumajang yang terletak di belakang Koramil Pasirian. Menjadi satpam di  PT Adi Karya Pasirian juga pernah dilakoninya. Terakhir adalah menjadi penjaga malam di GBI Pasirian sampai sekarang.

Sebagai anak Tuhan, pria yang pernah digodok pendidikan militer di Makasar (1959) ini mempunyai pengalaman iman yang tidak pernah dia lupakan. Sewaktu ditugaskan di Timor-Timur (1976), regu yang dipimpinnya pernah diserang musuh (fretelin) secara mendadak. Semua anak buahnya kocar-kacir melarikan diri. Sementara dia sebagai komandan regu ditinggalkan sendirian di atas gunung oleh anak buahnya. “Kalau tidak ada campur tangan Tuhan waktu itu, barangkali saya sudah tinggal nama. Karena saya terkepung oleh gerombolan yang sangat menguasai medan. Sungguh, ketika saya turun gunung untuk menyelamatkan diri, seperti  ada tangan yang menuntun ke arah mana saya harus berjalan. Saya pun bisa kembali ke markas dengan selamat,’’tuturnya berapi-api menguatkan kesaksian imannya.

Di usianya yang menjelang senja, kini Pak Wagiyo hidup damai bersama seorang istrinya. Sementara kedua anaknya sudah berumah tangga sendiri. Menempati sebuah rumah sederhana di Perum GPP Pasirian, tidak banyak kegiatan yang dilakukan oleh kakek bercucu tiga ini selain menjadi penjaga malam sambil menikmati gaji pensiunnya . “Di usia tua ini saya ingin menyucikan hati. Saya ingin selalu dekat dengan Tuhan Yesus dalam segala hal, dan tetap ingin setia melayani-Nya walaupun hanya sebagai penjaga malam gereja,” pesan singkatnya mengakhiri wawancara. (Tim CMM/Mws)

pemeran si 'maya'


Malam  (22/12) puncak acara natal Anak Sekolah Minggu GBI Imamat Rajani Pasirian adalah pemutaran film natal. Film  berdurasi 20 menit  tersebut dimainkan oleh Anak Sekolah Minggu. Di  bawah asuhan sutradara Mr.Irwan Pratama, suguhan film  berjudul : Jadilah Serupa sangat memukau para hadirin yang kebanyakan anak-anak serta orang tua yang juga ikut diundang untuk nonton bareng.

Siapakah pemeran utama ‘MAYA’dalam film natal anak yang ‘pas’ dengan actingnya itu? Kali ini Tim CMM berhasil melacak keberadaan ‘MAYA’. Ternyata pemeran MAYA adalah Mawartania. Putri tunggal  pasangan Mr. Mawas dan Ms. Anik ini sekarang masih duduk di bangku kelas 6 SD Kristen Pelangi Kasih Pasirian. Gadis cilik yang lebih akrab disapa Nia tersebut mengaku baru  kali pertama ini ikut bermain film di Gereja GBI Imamat Rajani Pasirian.

“Aku nggak nyangka, setelah lolos audisi drama natal akan dipasang sebagai pemeran utama. Aku kaget sekaligus bangga banget. Tapi aku bertekad harus bisa memerankannya !” akunya polos kepada Tim CMM saat bertandang ke rumahnya.

Saat ditanya tentang suka dukanya bermain film untuk kali pertama bagi dirinya, putri kelahiran Lumajang, 18 Maret 2000 ini berkomentar, “Wah, lebih banyak sukanya. Aku jadi punya banyak teman dan tahu cara-cara bermain film. Apalagi peran ‘MAYA’ sangat pas dengan  keseharianku, yakni hidup sederhana. Jadi, aku nggak sulit memerankannya....”

Hayo, siapa yang ingin berkenalan dengan MAYA alias Mawartania ? Sambangi saja rumahnya di Dusun Joho Pasirian, belakang rumah praktik Dokter Sutrisno – Pasirian. Ditunggu ya... kedatangannya! (Tim CMM/Mws)

tuhan yesus menopangku (3)


RAHASIA PANJANG UMUR

Sebagai manusia, aku ingin selalu berbagi suka duka dengan sesama. Namun dengan siapa? Anak jauh, cucu jauh, saudara jauh. Yang ada hanya hamparan sepi dan sunyi. Terlebih bila malam menjelang. Rumahku yang tanpa lampu penerang listrik, semakin lengkap mencengkeram kesepianku. Hanya radio kecil yang terletak di atas bufet tua yang kadang menjadi hiburanku. Sayang sekali,  suara radio itu tidak jelas terdengar sebab aku tidak mampu membelikan baterai baru. Untuk membaca Alkitab, mataku juga tidak dapat kompromi dengan penerang lampu minyak yang kelap-kelip. Dalam kesendirianku yang seperti inilah, acapkali ucapan doaku bercampur linangan air mata. Aku hanya bisa menangis di hadapan Tuhan Yesus.

Terlepas dari kesedihan itu, aku bersyukur kepada Tuhan Yesus yang telah menganugerahkan berkat kesehatan yang prima kepadaku. Selama ini aku jarang sakit, bahkan terhitung tidak pernah sakit. Aku membayangkan, bagaimana bila aku sampai jatuh sakit. Siapakah yang akan merawatku? Sementara, anak serta saudaraku jauh. Tetapi pikiran semacam itu segara terhapus tatkala aku sangat yakin akan pertolongan Tuhan yang tepat pada waktunya. Aku tidak akan jatuh terkulai. Tangan Tuhan pasti menopangku sebelum aku benar-benar jatuh.

Dalam setiap kegiatan gereja, aku aktif mengikutinya. Ibadah: minggu, komsel, lansia, doa malam aku tak pernah absen. Rumahku yang berjarak 500 meter dari gereja, cukup kutempuh dengan berjalan kaki bersama jemaat segereja yang lewat di depan rumahku. Bahkan, dalam KKR yang didatangi Ibu Elisabeth dari Australia beberapa hari yang lalu, aku didaulat untuk menari ke depan mimbar bersama yang lain. Komentar orang-orang yang merubungku: “Luar biasa Mbah Lastri. Umur segini masih kuat menari buat Tuhan...!” Banyak berkat yang kudapatkan lewat KKR kemarin.

Untuk menjaga kesehatan supaya tidak gampang sakit, aku banyak minum air putih, makan sayur mayur serta rutin minum jamu empon-empon buatanku sendiri. Aku tidak suka makan daging dan telur, meskipun aku tukang masak. Seringkali orang-orang bertanya tentang rahasia panjang umur kepadaku. Kujawab saja: “Resepnya, rajinlah doa puasa, serahkanlah semua masalahmu kepada Tuhan Yesus,  dan jagalah baik-baik pola makanmu.” Kegiatan keseharianku sekarang  selain melayani pesanan masakan (sekuatku saja),  yaitu : memelihara ayam,  menyapu di sekitar rumah sambil mencabuti rumput, mencari kayu bakar kecil-kecil di pekarangan rumah untuk memasak dan merebus air. Kalau sudah keluar keringat, lega rasanya. Segar badan ini. Di kala seperti inilah aku senantiasa berucap syukur  kepada Tuhan. Kepada Tuhan Yesusku yang selalu besertaku.......menemaniku....... menguatkanku.....MENOPANGKU dalam kesendirian di hari-hari tuaku...... Haleluyah. Amien. (Tim CMM/Mws – Tamat)

tuhan yesus menopangku (2)


MATA MULAI KABUR

Tuhan memang selalu ikut campur di dalam hidupku. Saat Tante Yudit (Ibu Gembalaku di Lumajang) menawarkan rumahnya di Pasirian supaya aku tempati, tawaran itu langsung kuterima. Rumah di Pasirian yang kutempati tergolong besar dan kuno. Pekarangannya cukup luas. Tanamannya bermacam-macam. Daunnya rimbun serta terkesan angker. Pertama aku memasuki rumah ini, aku bersihkan semuanya dalam kekuatan doaku. Beberapa hamba Tuhan GBI Pasirian datang membesuk dan mendoakanku.

Sebenarnya di Bondowoso aku mempunyai rumah sendiri. Rumah itu sekarang dikuasai saudara iparku. Aku boleh menempati rumahku, asal aku bersedia meninggalkan Yesus. Aku bersumpah, aku tidak akan menjual Yesus dengan apa pun juga. Apalagi hanya mempertaruhkan dengan sebuah rumah. Dua saudara kandungku (kakak dan adik) telah meninggal lebih dahulu. Suamiku pun telah meninggal dunia karena sakit tua. Dia meninggal di rumah istri kedua. Suamiku kecantol dengan wanita lain. Akhirnya kami berpisah rumah (tidak cerai). Aku merelakan dia hidup bersama istri barunya. Sebagai wanita, kala  itu aku memang sempat sakit hati karena kesetiaanku dikhianati. Namun, aku telah menyerahkan dan mengampuninya dalam nama Tuhan Yesus.

Kembali pada kehidupanku di Pasirian. Tak terasa, sudah 6 tahun aku tinggal di Kebonan Pasirian. Apalagi yang bisa kuandalkan dalam mencukupi ekonomi sehari-hari, selain kepandaianku memasak. Tahun pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima aku masih bersemangat dalam melayani pesanan-pesanan makanan para langganan. Namun lambat laun kekuatan badanku mulai kendor termakan usia. Tenagaku mulai lemah serta mudah lelah bila usai memasak. Pandangan mataku mulai kabur. Jika berbelanja bumbu-bumbu ke pasar, aku takut tertabrak kendaraan di jalan. Aku terpaksa menitip belanja bumbu kepada tetangga apabila ada pesanan masakan.

Beberapa jemaat yang kukenal menyarankan supaya aku tidak bekerja lagi. Tetapi jika tidak bekerja, aku dapat pegang uang dari mana? Aku masih ingin memberi persembahan buat Tuhan. Aku masih ingin mempersembahkan perpuluhan buat Tuhan. Barangkali mereka kasihan melihat keadaanku yang papa renta tanpa siapa-siapa. Mereka kerapkali mengirimkan sesuatu kepadaku. Kadang mereka membelikan lauk tempe, tahu, minyak goreng, sabun, dll. Pihak gereja GBI juga memberikan bantuan sembako bulanan kepadaku. Aku sangat bersyukur sekali. Sebenarnya aku tidak ingin hidup dikasihani seperti ini. Tapi apa daya, keadaanku yang membuatku begini. Aku tak bisa membalas apa-apa atas kebaikan mereka. Aku hanya bisa mendoakan orang-orang yang telah berbuat baik kepadaku. Tuhanlah yang akan melimpahkan berkat dari usaha-usaha mereka. (Tim CMM/Mws – Bersambung)