Jumat, 15 Juni 2012

tak ada ongkos becak


         Rumah kontrakannya sangat sederhana, tetapi cukup bersih dan rapi. Satu kamar,  ubinnya berlubang-lubang, tiang penyangga rumahnya mulai lapuk dimakan rayap. Apabila turun hujan, air berebut menerobos atap rumahnya yang bocor di sana sini. Tidak ada satu pun barang berharga di dalam rumah berdinding gedek tersebut. Hanya ada sebuah alat pasang gigi kuno  warisan suaminya (alm, 1968). Alat yang terbuat dari logam besi itu dimilikinya sejak tahun 1942. Lantas, siapakah penghuni rumah kecil yang berlokasi di belakang Toko Sinar Terang Pasirian  itu ? Ternyata penghuninya adalah seorang nenek tua bernama Tri Untari, akrab disapa Mak Du.

     Membuka percakapannya dengan Tim CMM, nenek yang mempunyai nama Tionghoa: Tan Tjien Ik Niang mengaku, dia menetap di Pasirian bersama suaminya sejak tahun 1949. Sebelumnya dia tinggal di kota kelahiran, Lumajang. Menurutnya, dahulu Pasirian sangat sepi. Pemukimannya tidak sepadat sekarang. Di Pasirian inilah, dia bersama suaminya yang bekerja sebagai tukang gigi keliling tsb membesarkan ke empat anaknya. “Dulu, rumahku ada di pinggir jalan raya. Karena kebutuhan ekonomi, rumah kujual. Sampai sekarang aku nggak punya rumah sendiri,” cerita Mak Du mengenang. Kini anaknya tinggal satu, sementara ketiga anaknya yang lain sudah meninggal dunia. Anak terakhir, Du, meninggal karena kecelakaan di Lumajang.

           Untuk menopang kehidupan sehari-hari, tidak ada usaha lain yang dikerjakannya, kecuali hanya mengandalkan keterampilan warisan suaminya.Yakni, memasang gigi palsu, menambal gigi berlubang, atau meratakan gigi (pangur gigi). Pasiennya langka sekali. “Bayangkan, 6 bulan terakhir ini hanya ada 1 orang yang datang ke sini untuk pasang gigi. Ya, mau apa lagi. Hanya inilah yang bisa aku lakukan dengan kondisiku yang seperti ini. Untungnya aku dapat jatah beras dari gereja GBI dan raskin dari pemerintah,” ujar nenek yang hidup sebatang kara ini. Tetapi dia bersyukur karena anaknya yang bernama An (di Pasirian) kerapkali menjenguk keberadaannya.

       Lebih lanjut, nenek yang berlatar Katholik tsb mengungkapkan bahwa dia mengalami pertobatan menjadi anak Tuhan  setelah kenal dan diajak Ibu Sumiyak untuk ikut beribadah di GBI Pasirian. Sejak saat itulah, dia menjadi jemaat GBI. Kegiatan ibadah yang diikuti adalah ibadah minggu pagi. “Aku pergi ke gereja selalu berjalan kaki. Jarang sekali naik becak. Selain berolah raga, ya terus terang aku nggak ada ongkos becak. Seringkali setiba di gereja orang-orang mengatakan, sudah tua kok kesenangannya jalan kaki. Kalau ibadah doa malam, aku nggak pernah ikut karena takut ramainya kendaraan di jalan,” tutur bobo yang rumahnya hanya diterangi satu lampu listrik 10 wat, saluran dari tetangganya.

            Saat ditanya pengalaman rohaninya, nenek yang mempunyai kebiasaan minum air mentah sejak kecil  ini  menceritakan, sejak ikut Tuhan dia merasakan kehidupannya ada suka cita. Jarang sekali dia sakit. Malah kakinya terasa linu-linu bila duduk terlalu lama. Oleh sebab itu, dia sering jalan-jalan di sekitar rumahnya. Dia juga aktif terlibat dalam kegiatan PKK di lingkungan RT. Setiap sore, selesai nonton TV di rumah tetangganya, jam 6, dia pulang dan langsung tidur.

         Semangat hidup nenek tua yang selalu enerjik ini patut menjadi teladan. Dia sandarkan segala kesendirian dan ketidakberdayaannya hanya kepada Tuhan Yesus.  “Tuhan Yesus itulah sandaran hidupku. Dialah yang memberi kekuatan aku. Dialah yang memeliharaku. Umurku memang sudah tua sekali, 87 tahun. Kalau bukan Dia yang menopangku, aku sudah tak berdaya,” ujar Mak Du mengungkapkan adanya campur tangan Tuhan dalam hidupnya pada akhir wawancara bersama Tim CMM di rumahnya. (Tim CMM/Mws/bambangmws.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar