Rumah kontrakannya sangat sederhana, tetapi
cukup bersih dan rapi. Satu kamar, ubinnya berlubang-lubang, tiang
penyangga rumahnya mulai lapuk dimakan rayap. Apabila turun hujan, air berebut menerobos
atap
rumahnya yang bocor di
sana sini.
Tidak ada satu pun barang berharga di dalam rumah berdinding gedek tersebut. Hanya ada sebuah alat pasang gigi kuno warisan suaminya (alm, 1968).
Alat yang terbuat dari logam besi itu dimilikinya sejak tahun 1942. Lantas, siapakah
penghuni rumah
kecil yang berlokasi di belakang Toko Sinar Terang Pasirian itu ? Ternyata penghuninya adalah seorang nenek tua bernama Tri Untari, akrab
disapa Mak Du.
Membuka percakapannya dengan Tim CMM,
nenek yang mempunyai nama Tionghoa: Tan
Tjien Ik Niang mengaku, dia menetap di Pasirian bersama suaminya
sejak tahun
1949. Sebelumnya dia tinggal di kota kelahiran, Lumajang. Menurutnya, dahulu
Pasirian sangat sepi. Pemukimannya tidak sepadat sekarang. Di Pasirian inilah, dia bersama
suaminya yang bekerja sebagai tukang gigi keliling tsb membesarkan ke empat anaknya. “Dulu, rumahku ada di pinggir jalan
raya. Karena kebutuhan ekonomi, rumah kujual. Sampai sekarang aku nggak punya rumah
sendiri,” cerita
Mak Du mengenang. Kini anaknya tinggal satu, sementara ketiga anaknya
yang lain sudah meninggal dunia. Anak terakhir, Du, meninggal karena kecelakaan
di Lumajang.
Untuk menopang kehidupan sehari-hari,
tidak ada usaha lain yang dikerjakannya, kecuali hanya mengandalkan keterampilan
warisan suaminya.Yakni, memasang gigi palsu, menambal gigi berlubang, atau
meratakan gigi (pangur gigi). Pasiennya langka sekali. “Bayangkan, 6 bulan
terakhir ini hanya ada 1 orang yang datang ke sini untuk pasang gigi. Ya, mau
apa lagi. Hanya inilah yang bisa aku lakukan dengan kondisiku yang seperti ini. Untungnya aku dapat
jatah beras dari gereja GBI dan raskin dari pemerintah,” ujar nenek yang hidup sebatang
kara ini. Tetapi dia bersyukur karena anaknya yang bernama An (di Pasirian) kerapkali
menjenguk keberadaannya.
Lebih lanjut, nenek yang berlatar Katholik
tsb mengungkapkan bahwa dia mengalami pertobatan menjadi anak Tuhan setelah kenal dan diajak Ibu Sumiyak untuk
ikut beribadah di GBI Pasirian. Sejak saat itulah, dia menjadi jemaat GBI.
Kegiatan ibadah yang diikuti adalah ibadah minggu pagi. “Aku pergi ke gereja selalu
berjalan kaki. Jarang sekali naik becak. Selain berolah raga, ya terus terang
aku nggak ada ongkos becak. Seringkali setiba di gereja orang-orang mengatakan,
sudah tua kok kesenangannya jalan kaki. Kalau ibadah doa malam, aku nggak
pernah ikut karena takut ramainya kendaraan di jalan,” tutur bobo yang rumahnya
hanya diterangi satu lampu listrik 10 wat, saluran dari tetangganya.
Saat ditanya pengalaman rohaninya,
nenek yang mempunyai kebiasaan minum air mentah sejak kecil ini
menceritakan, sejak ikut Tuhan dia merasakan kehidupannya ada suka cita.
Jarang sekali dia sakit. Malah kakinya terasa linu-linu bila duduk terlalu
lama. Oleh sebab itu, dia sering jalan-jalan di sekitar rumahnya. Dia juga aktif
terlibat dalam kegiatan PKK di lingkungan RT. Setiap sore, selesai nonton TV di
rumah tetangganya, jam 6, dia pulang dan langsung tidur.
Semangat hidup nenek tua yang selalu
enerjik ini patut menjadi teladan. Dia sandarkan segala kesendirian dan
ketidakberdayaannya hanya kepada Tuhan Yesus.
“Tuhan Yesus itulah sandaran hidupku. Dialah yang memberi kekuatan aku.
Dialah yang memeliharaku. Umurku memang sudah tua sekali, 87 tahun. Kalau bukan
Dia yang menopangku, aku sudah tak berdaya,” ujar Mak Du mengungkapkan adanya
campur tangan Tuhan dalam hidupnya pada akhir wawancara bersama Tim CMM di
rumahnya. (Tim CMM/Mws/bambangmws.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar