Sabtu, 25 Agustus 2012

jagoan yang dipulihkan



Postur badannya tegap perkasa. Kulitnya hitam manis. Kumis tipis menghias di atas bibirnya.Karakternya pendiam. Tetapi bila kita sudah mengenalnya, ternyata bapak 3 anak ini orangnya supel serta enak diajak ngobrol. Lantas, siapakah nama pria yang juga warga jemaat GBI Pasirian ini? Saat Tim CMM mewawancarainya, dengan senyum ramah lelaki bernama lengkap Warok Budiono (42) itu sangat berkenan hati.

Mengawali percakapan, Pak Budi, demikian dia akrab disapa menuturkan bahwa nama Warok Budiono adalah asli pemberian orang tuanya. “Warok artinya jagoan. Dulu ketika masih sekolah di ST (Sekolah Tehnik/STM) Lumajang, aku sering terlibat duel dengan sesama teman. Pokoknya, bagiku tiada hari tanpa berkelahi,” kenangnya. Sejarah namanya memang tidak terlepas dari ambisi sang ayah yang menginginkan Warok Budiono menjadi seorang jagoan. Ayahnya sendiri pun seorang pendekar silat berilmu kanuragan tinggi.

Sebelum aku mengenal Yesus, tubuhku diwarisi ilmu kuasa gelap oleh kakek dan ayahku. Berbekal ilmu tersebut, saat aku dikeroyok 3 perampok hanya celanaku saja yang robek kena tebasan golok sang perampok. Peristiwa itu terjadi di dalam bus ketika bus yang kunaiki dari Jakarta melewati Alas Caruban Madiun. Di dalam bus yang sepi penumpang itulah, mereka mau merebut tasku,” cerita pria yang kakek buyutnya masih berdarah Kraton Yogya.

Kini semua ilmu kekebalan tubuh yang dia miliki sudah dibuang jauh-jauh. Puncaknya, ketika dia diajak temannya mengikuti sebuah ibadah KKR akbar di kota Lumajang yang dilayani seorang pendeta asal  Amerika. Menurut temanku,ketika  terjadi pelepasan ilmu kanuraganku, dia seperti melihat kepulan asap kuning keluar dari tanganku. Pendeta Amerika mendekat dan melepaskannya dengan kekuatan doa. Ketika kuasa gelap yang mengikatku terlepas, seketika aku tak sadarkan diri. Begitu siuman, ternyata aku sudah dirubung banyak jemaat dan mereka saling mendoakanku,” pengakuannya polos.

Pria yang bekerja sebagai sopir angkut pasir di Pantai Bambang Pasirian ini menjadi pengikut Kristus tidak sedari kecil. Pertobatannya diawali dengan sebuah mimpi aneh. Dalam mimpi dia menerima buku besar dan sangat berat dari seseorang yang belum dikenalnya. Saking beratnya, dia nyaris tak kuat mengangkatnya. Ternyata setelah ditelusuri ke sana kemari, buku besar itu ialah Alkitab. Dan, seseorang yang memberinya tersebut adalah budhe dari calon istrinya. Padahal, dia belum pernah melihat dan mengenal wajah budhe dari calon istrinya.

Semenjak mengiring Yesus kehidupan Pak Budi dipulihkan. Hobi berkelahi telah diubahkan Tuhan dengan hobi mengikuti kebaktian dan kegiatan doa. Ilmu kanuragannyaoleh Tuhan telah diganti dengan ilmu mengasihi sesama. “Kehidupanku benar-benar dipulihkan. Ikut Tuhan itu damai dan nyaman. Aku tidak punya musuh lagi sebab aku telah melepaskan pengampunan. Malah aku mengalami banyak  pertolongan serta berkat Tuhan,” ujar pria kelahiran Tempeh ini menyakinkan kesaksiannya terhadap cinta kasih Tuhan.

Menempati rumah sendiri di Condro Pasirian, pria yang pernah digembleng di arena Pria Sejati ini hidup bahagia bersamakeluarga tercinta. Istrinya, Ibu Dina Koeshartatik (39) adalah Guru TK Kr. Pelangi Kasih Pasirian. Ketiga anaknya: Stivanus Surya K (lk) bersekolah di SMAN Pasirian, Martinus Candra K(lk) duduk di kelas 6 SD Pelangi Kasih, dan anak ketiga, Yemima Natasya K (pr) masih duduk di TK Pelangi Kasih. Dalam keluarganya, Pak Budi selalu mengarahkan anak-anaknya untuk cinta Tuhan.“Yesus adalah nahkoda keluargaku. Dengan rajin ke gereja, berdoa, dan berbuat seturut kehendak-Nya,Tuhan Yesus akan menahkodai kapal rumah tanggaku dengan nyaman dan damai,” tegasnya pada akhir wawancara. (Tim CMM/Mws/bambangmws.blogspot.com)

pesuruh sekolah yang cekatan






Dingin udara pagi yang menusuk tulang tak mengurangi semangatnya untuk terus menyirami dan menyapu jalan di depan TK Pelangi Kasih dan Pastori GBI Pasirian. Selesai pekerjaan satu, dengan cekatan dia akan beralih ke pekerjaan lain. Meski semua warga sekolah sudahberdatangan, ada saja pekerjaan yang harus dilakukannya. Wanita tua berperawakan kecil itu sepertinya menguasai benar apa yang harus dikerjakan.

Siapakah wanita cekatan dan rajin bekerja itu? Tak lain adalah Heni Handayani (52). Wanita yang akrab disapa Bu Heni ini mengaku, bahwa dia mulai bekerja di TK Kr. Pelangi Kasih sudah hampir 7 tahun. Awalnya, Ibu beranak satu ini hanyalah menggantikan pekerjaan suaminya, Mariyono. Suaminya berpindah ke pekerjaan lain. Akhirnya, pekerjaan pesuruh warisan suaminya ini ditekuninya sampai sekarang. “Habis gimana lagi. Aku cocok sekali dengan pekerjaanku ini,”ujar ibu yang juga warga gereja GBI Pasirian ini polos.

Lebih lanjut Ibu kelahiran kota Lumajang dan berasal dari keluarga polisi (alm.ayahnya purn. polisi) menceritakan, dia berangkat kerja mulai pukul 05.30 pagi. Bangun  jam 3 pagi, lalu bersama suaminya berdoa di rumah. Saat ditanyakan  apa doanya, ibu bercucu satu ini menaikkan doa: keluarganya, pekerjaannya, pelayanan bapak ibu gembala, kesejahteraan kota  Pasirian, dan lain-lain. Turun doa pagi, Bu Heni menyiapkan masakan untuk sang suami tercinta. Hal ini terpaksa dia lakukan sendiri, karena putri tunggalnya ikut suami tinggal di Senduro – Lumajang.

            Sebagai pesuruh sekolah, pekerjaannya tidak hanya merawat kebersihan luar dan dalam sekolah. Acapkali dia harus pergi untuk foto copi administrasi sekolah. Dengan sepeda ontelnya, Bu Heni tak pernah canggung melakukan tugasnya. “Aku sudah biasa ngontel. Kemana-mana aku ya pakai sepeda ontel.Kalausoal angkat-angkat meja kursi saat ada rapat antar sekolah di gedung serba guna Pelangi Kasih, biasanya banyak yang menolong. Termasuk suamiku, aku libatkan untuk membantu,”  tutur wanita yang sangat menikmati pekerjaannya sebagai panggilan Tuhan. Ditambahkan, selesai kerja di TK, terkadang dia masih dibutuhkan tenaganya di pastori. Misalnya: menyetrika baju dan membantu masak kalau pastori sedang ada acara gereja. Jika sudah begini, pulangnya bisa sampai jam 5 sore.

            Sementara itu, Kepala Sekolah TK Kr. Pelangi Kasih, Bpk. Yuliono, saat di konfirmasi usai doa puasa Jumat siang (3/8) di gereja GBI Pasirian membenarkan, Bu Heni adalah salah satu anak buahnya yang kerjanya sangat cekatan. “Meskipun pekerjaan pesuruh itu berat dan biasa dilakukan oleh laki-laki, tapi Bu Heni tidak mengalami kesulitan. Dia pekerja yang rajin dan tahu akan tugasnya,” timpal Pak Yuliono yang juga Staf Gembala GBI.

Rumah Bu Heni dan Pak Mariyono di pinggir jalan raya depan SMP Negeri 1 Pasirian. Namun rumah permanen tinggalan orang tuanya tsb kini sudah terjual.  Saudara Bu Heni ada 5 orang. Dia anak nomor 5. Untuk sementara,keduanyamasih diperbolehkan menempati rumah itu sampai sang pemilik merehab dengan bangunan baru.“Apa boleh buat, semua ini rencana Tuhan. Pasti Tuhan sudah siapkan lokasi baru untuk pekerjaaan suamiku, tukang tambal ban. Di tempat baru nanti doakankami kerasan dan bertambah berkat. Sungguh, rencana Tuhan itu indah adanya,” tegas Bu Heni menguatkan kesaksiannya tentang cinta kasih Tuhan. (Tim CMM/Mws/bambangmws.blogspot.com)

rumah mak yem 'roboh'





Raut wajahnya masih menyisakan kesedihan. Betapa tidak, rumah berdinding gedeg ukuran 7 m X 3 m  yang setiap hari dihuni untuk berteduh dari dingin dan panas harus dirobohkan. Pasalnya, rumah terpencil di tepi kebun singkong itu nyaris roboh. Berbekal hikmat Tuhan, Mak Yem segera melaporkan hal ini pada pengurus gereja GBI Pasirian. Sebagai jemaat yang kurang mampu, dia hanya bisa mengadu tanpa bisa berbuat banyak. Laporan direspon cepat oleh pihak gereja.Sabtu, 21 Juli 2012 Tim Bedah Rumah GBI yang dipelopori Bpk. Steve segera membedah  rumah nenek sebatang kara tersebut.

Siapakah sebenarnya Mak Yem itu ? Saat Tim CMM melacak keberadaan nenek bernama lengkap Sukiyem (70), rumahnya memang sudah dibongkar. Tumpukan genteng dan onggokan kayu lapuk berserakan di sana sini. Untuk sementara nenek renta itu tidur di bawah pohon pisang bersama tumpukan perkakas rumahnya. Mak Yem menuturkan, bahwa dia sudah hampir 8 tahun menempati rumah di belakang tempat praktek Dokter Bayu, Kebonan Pasirian. Bukan rumah sendiri. Dia menyewamulai dari harga sewa 25 ribu sampai naik 100 ribu rupiah. “Ketika harga sewa menjadi 100 ribu, ada jemaat yang mengontrakan aku sampai 5 tahun,” tuturnya lugu. Ditambahkan, selama menempati rumah tersebut, dia tidak bisa memperbaikinya sebab tiada biaya.

Sebelum menjadi jemaat GBI Pasirian, dahulu Mak Yemtinggal serumahbersama2 anaknya di sekitar pasar Patok Condro. Suaminya telah meninggal dunia. Seorang anak perempuannya juga meninggal dunia karena sakit. Suatu ketika, Mak Yem sakit parah selama 3 bulan. Karena tak ada biaya berobat, dia pun menyerah dengan penyakitnya. Tetapi kuasa Tuhan menjamahnya. Lewat lawatan doa Tim Doa GBI, akhirnya Mak Yem sembuh. “Aku berjanji kepada Tuhan Yesus. Apabila aku sembuh, aku akan  mengiring Tuhan  sampai mati.Semenjak ikut Tuhan, anak lelakiku menjauhiku.Kerapkali aku merindukan anak dan cucuku yang katanya kini tinggal di Turen,” cerita Mak Yem mengenang dengan linangan air mata yang tak terbendung.

Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, Mak Yem menekuni pekerjaan sebagai pemulung. Bukan  membeli rongsokan, tetapi leles barang-barang bekas di tempat sampah. Penghasilannya tak menentu. Terkadang sehari hanya mendapat  5 ribu, kadang 10 ribu rupiah. Banyak atau sedikit penghasilannya tergantung dari kondisi fisiknya. Kalau badannya sehat, berarti dia bisa leles banyak rongsokan di tempat jauh. Jika penyakit darah tinggi dan sesak nafasnya kambuh, meski memaksakan diri,hasilnya tetap sedikit. Semua dilakukan dengan berjalan kaki dari tempat sampah yang satu ke tempat sampah yang lain.

Nah, barangkali Mak Yem sekarang boleh bernafas lega. Rumahnya yang reyot,  telah direhab total. Atap gentengnya sekarang sudah diganti asbes anti bocor. Kayu-kayu yang lapuk telah disulapdengan kayu yang lebih kuat. Meskipun demikian, tanah yang ditempati rumahnya  tetap milik orang lain. Itu berarti, rumah ditepi kebun singkong tersebut bisa dibongkar kapan saja bila sang pemilik menjual tanahnya kepada orang lain. Menanggapi hal ini, Mak Yem cuma berserah dengan iman, “Semua yang aku punya, hanyalah  milik Tuhan.Meski di usia tuaku ini aku harus kehilangan anak dan rumahku, imanku tidak akan berpaling dari Tuhan Yesus. Sebab, Yesuslah yang menjaga kehidupanku selama ini. Dialah satu-satunya hartaku yang paling berharga.” (TimCMM/Mws/bambangmws.blogspot.com)

suka cita melayani tuhan


Setiap Minggu pagi lelaki tua bertopi hitam itu selalu mondar mandir di sekitar gereja GBI Pasirian dan halaman pastori. Bukan tanpa tujuan. Kakek tua berkacamata minus tsb sedang bertugas menjaga barisan kendaraan di area parkiran. Memang jumlah kendaraan jemaat setiap Minggu meluber. Untuk mengatur kerapian dan menjaga keamanan, diperlukan petugas parkir. Tugas itulah yang dipercayakan oleh gereja kepada Pak Misto (70).

Mengawali percakapannya dengan Tim CMM, pria beranak 7 orang (2 meninggal), mengaku bahwa dia mulai bekerja di GBI sejak bangunan gereja direhab total. Rehab dari gereja berdinding bambu menjadi gereja yang semegah sekarang. “Awalnya, aku menjadi kuli bangunan di gereja ini. Begitu pun dalam pembangunan pastori, aku ikut andil di dalamnya sebagai tenaga bangunan. Sampai akhirnya aku dipercaya menjadi penjaga malam dan tukang kebun gereja dan pastori. Semua pekerjaan yang dipercayakan kepadaku, aku lakukan dengan suka cita,” cerita Pak Misto mengenang.

Karena faktor usia, untuk tugas berjaga malam tidak lagi dia lakukan. Kini kakek bercucu 12 orang ini hanya fokus menjadi petugas parkir saja. Sunggupun demikian, kalau gereja membutuhkan tenaganya untuk acara lain, dia selalu siap untuk  membantunya. Menurutnya, selama menjadi tukang parkir hanya satu kali dia kecolongan dengan kendaraan yang dijaganya. Ceritanya, suatu hari ada  tamu tak diundang menginap beberapa hari  di pastori. Saat ibadah berlangsung, tiba-tiba si tamu misterius tersebut mengambil salah satu sepeda milik pastori. Tanpa curiga apapun dibiarkannya saja sepeda itu dibawa. Sampai sekarang orang itu tidak pernah muncul bersama sepedanya.

Sebagai tukang parkir kendaraan di gereja, waktunya memang tidak terbatas pada hari Minggu pagi dan Jumat malam saja. Di samping  ibadah rutin, Jumat dan Minggu, dia tetap ditugaskan gereja untuk menjaga kendaraan apabila gereja ada acara ibadah yang lain. Tak hanya sebagai tukang parkir, dia juga mengantarkan jemaat dari area parkiran ke pintu gereja jika turun hujan dengan meminjami payung. Menyeberangkan anak-anak sekolah Minggu yang berseliweran di jalan dari gereja ke pastori. “Aku baru akan pulang, setelah semua sepi tidak ada orang. Setiba di rumah aku  pergi ke sawah,” tutur kakek yang rumahnya hanya berjarak 500 meter dari gereja.

Bagaimana dengan pengalaman rohaninya? Saat ditanyakan hal ini kepadanya, pria kelahiran asli Pasirian ini hanya tersenyum simpul. Menurutnya, meskipun dia tidak seiman dengan warga jemaat, namun dia melihat kerukunan dan kebaikan jemaat sangat luar biasa. Perhatian gereja serta jemaat selama ini dia rasakan cukup menguatkan untuk terus melayani pekerjaan Tuhan di tempat ini. “Pokoknya aku selalu ada suka cita dengan pekerjaanku. Aku sudah tua, harus kerja apa lagi kalau tidak seperti ini. Aku yakin, pekerjaan yang kulakukan selama ini adalah karena adanya kasih anugerah Yang Maha Kuasa” ujarnya polos.

Misto adalah sosok tegar dalam menjalani kerasnya kehidupan yang terjadi pada masa kini. Namun dengan ketulusan melayani Tuhan, seberat apapun pekerjaannya dan setua apapun usianya, kakek tua ini bertekad untuk bekerja sebaik-baiknya. Bekerja dengan penuh suka cita. Sungguh, motivasi kehidupannya patut menjadi teladan bagi kita untuk mensyukuri kasih karunia Tuhan. Semoga. (Tim CMM/Mws/bambangmws.blogspot.com)

Jumat, 15 Juni 2012

tak ada ongkos becak


         Rumah kontrakannya sangat sederhana, tetapi cukup bersih dan rapi. Satu kamar,  ubinnya berlubang-lubang, tiang penyangga rumahnya mulai lapuk dimakan rayap. Apabila turun hujan, air berebut menerobos atap rumahnya yang bocor di sana sini. Tidak ada satu pun barang berharga di dalam rumah berdinding gedek tersebut. Hanya ada sebuah alat pasang gigi kuno  warisan suaminya (alm, 1968). Alat yang terbuat dari logam besi itu dimilikinya sejak tahun 1942. Lantas, siapakah penghuni rumah kecil yang berlokasi di belakang Toko Sinar Terang Pasirian  itu ? Ternyata penghuninya adalah seorang nenek tua bernama Tri Untari, akrab disapa Mak Du.

     Membuka percakapannya dengan Tim CMM, nenek yang mempunyai nama Tionghoa: Tan Tjien Ik Niang mengaku, dia menetap di Pasirian bersama suaminya sejak tahun 1949. Sebelumnya dia tinggal di kota kelahiran, Lumajang. Menurutnya, dahulu Pasirian sangat sepi. Pemukimannya tidak sepadat sekarang. Di Pasirian inilah, dia bersama suaminya yang bekerja sebagai tukang gigi keliling tsb membesarkan ke empat anaknya. “Dulu, rumahku ada di pinggir jalan raya. Karena kebutuhan ekonomi, rumah kujual. Sampai sekarang aku nggak punya rumah sendiri,” cerita Mak Du mengenang. Kini anaknya tinggal satu, sementara ketiga anaknya yang lain sudah meninggal dunia. Anak terakhir, Du, meninggal karena kecelakaan di Lumajang.

           Untuk menopang kehidupan sehari-hari, tidak ada usaha lain yang dikerjakannya, kecuali hanya mengandalkan keterampilan warisan suaminya.Yakni, memasang gigi palsu, menambal gigi berlubang, atau meratakan gigi (pangur gigi). Pasiennya langka sekali. “Bayangkan, 6 bulan terakhir ini hanya ada 1 orang yang datang ke sini untuk pasang gigi. Ya, mau apa lagi. Hanya inilah yang bisa aku lakukan dengan kondisiku yang seperti ini. Untungnya aku dapat jatah beras dari gereja GBI dan raskin dari pemerintah,” ujar nenek yang hidup sebatang kara ini. Tetapi dia bersyukur karena anaknya yang bernama An (di Pasirian) kerapkali menjenguk keberadaannya.

       Lebih lanjut, nenek yang berlatar Katholik tsb mengungkapkan bahwa dia mengalami pertobatan menjadi anak Tuhan  setelah kenal dan diajak Ibu Sumiyak untuk ikut beribadah di GBI Pasirian. Sejak saat itulah, dia menjadi jemaat GBI. Kegiatan ibadah yang diikuti adalah ibadah minggu pagi. “Aku pergi ke gereja selalu berjalan kaki. Jarang sekali naik becak. Selain berolah raga, ya terus terang aku nggak ada ongkos becak. Seringkali setiba di gereja orang-orang mengatakan, sudah tua kok kesenangannya jalan kaki. Kalau ibadah doa malam, aku nggak pernah ikut karena takut ramainya kendaraan di jalan,” tutur bobo yang rumahnya hanya diterangi satu lampu listrik 10 wat, saluran dari tetangganya.

            Saat ditanya pengalaman rohaninya, nenek yang mempunyai kebiasaan minum air mentah sejak kecil  ini  menceritakan, sejak ikut Tuhan dia merasakan kehidupannya ada suka cita. Jarang sekali dia sakit. Malah kakinya terasa linu-linu bila duduk terlalu lama. Oleh sebab itu, dia sering jalan-jalan di sekitar rumahnya. Dia juga aktif terlibat dalam kegiatan PKK di lingkungan RT. Setiap sore, selesai nonton TV di rumah tetangganya, jam 6, dia pulang dan langsung tidur.

         Semangat hidup nenek tua yang selalu enerjik ini patut menjadi teladan. Dia sandarkan segala kesendirian dan ketidakberdayaannya hanya kepada Tuhan Yesus.  “Tuhan Yesus itulah sandaran hidupku. Dialah yang memberi kekuatan aku. Dialah yang memeliharaku. Umurku memang sudah tua sekali, 87 tahun. Kalau bukan Dia yang menopangku, aku sudah tak berdaya,” ujar Mak Du mengungkapkan adanya campur tangan Tuhan dalam hidupnya pada akhir wawancara bersama Tim CMM di rumahnya. (Tim CMM/Mws/bambangmws.blogspot.com)

Senin, 11 Juni 2012

kerasan di rumah tuhan


Umurnya masih sangat muda. Tahun 2012 usianya baru menginjak 16 tahun. Tercatat sebagai siswa SMAN 1 Pasirian, kelas 1. Namun tekadnya dalam melayani pekerjaan Tuhan sungguh luar biasa. Siapakah gerangan anak muda pada tamu kita kali ini ? Dia adalah Henok Lahirno Putra, yang lebih akrab disapa Henok.

“Aku mulai membantu pelayanan di GBI Pasirian sejak SMP kelas 1. Awalnya, aku  diajak oleh Pak Woro untuk diajari ngedram (drum). Eeh, nggak tahunya aku malah jadi kerasan sobo (berada) di lingkungan gereja,” pengakuan Henok yang menyukai sayur kelor ini mengawali percakapannya dengan Tim CMM.

Sebagai relawan gereja, banyak hal yang harus dikerjakan oleh jejaka berbadan gendut ini. Selain sebagai drummer musik gereja,dia pun anggota tim multimedia. Multimedia, maksudnya : tim yang mempersiapkan segala keperluan sebelum dan selama ibadah berlangsung. Yakni, mulai dari mengatur kabel- mik, sound, mengecek monitor LCD, menghidupkan AC, dan lain-lain yang bisa dia kerjakan.

“Ada acara gereja atau tidak, sepulang sekolah aku pergi ke gereja atau pastori. Kadang aku ikut latihan musik, doa malam, komsel, dll. Jam 4 sore aku memberi les musik (drum) untuk beberapa anak jemaat. Malamnya, aku belajar dan tidur di pastori, supaya  paginya aku bisa ikut doa pagi di gereja,” tutur abege ganteng yang di sekolahnya menjabat bendahara OSIS dan ketua kelas.

Pengalaman pribadinya bersama Tuhan adalah sewaktu TK, dia pernah jatuh serta  kepalanya bocor akibat membentur lantai.  Sepulang dari rumah sakit, dia didoakan oleh hamba Tuhan GBI Pasirian. Sembuh.Sedangkan berkat Tuhan yang dia rasakan selama terlibat dalam pelayanan,kerohaniannya tambah matang serta terhindar dari  pergaulan anak muda yang merusak moral.

Lahir di tengah sebuah keluarga sederhana dengan 2 bersaudara. Abangnya,Bambang Purwantoko alias Mas Bembi (26), juga pemuda GBI. Ayahnya, Bpk. Batin, dan Ibunya, Ibu Sri Rejeki  tinggal di Desa Condro. Kedua orang tuanya pun warga jemaat yang sama. “Aku ingin melayani pekerjaan Tuhan. Di rumah Tuhan, aku pasrahkan segala harapan dan cita-citaku agar dibentuk oleh kuasa-Nya,” ujar Henok menjelaskan motivasi rohaninya dalam melayani pekerjaanTuhan. (Tim CMM/ Mws/bambangmws.blogspot.com)

Minggu, 10 Juni 2012

pak jenggot bermain sulap


Setelah semalam membawakan  firman dalam KKR kaum muda, Minggu pagi (29/1) Pak Jenggot yang lihai bermain sulap, hadir di depan jemaat GBI Pasirian. Di hadapan ratusan jemaat yang memadati gereja, Pak Jenggot alias Pdt. Handoyo tanpa canggung berkotbah dengan bahasa yang renyah sambil diselingi humor serta sekali-kali juga mengeluarkan trik sulapnya. Tepuk tangan dan senyum simpati jemaat tampak tak pernah surut sepanjang penyampaian firman.

Kedatangan penginjil asal Jakarta itu memang sudah diumumkan oleh pihak GBI Pasirian seminggu sebelumnya. Maka dari itu tak heran jika seluruh kursi yang biasanya banyak yang kosong, Minggu itu terisi penuh. “Saya tidak tahu, apakah terisinya seluruh kursi gereja pada ibadah Minggu ini ada hubungannya dengan kehadiran Pendeta Handoyo. Harapan saya, jemaat tidak hanya tertarik sulapnya saja, tetapi yang terpenting adalah firman yang dibawakannya bisa menjadi renungan yang penuh kuasa, “ ujar salah satu sumber yang tidak mau disebutkan namanya.

Dalam kotbah satu jam itu, pendeta kelahiran Lamongan dengan nama lengkap Dwi Handoyo (52) tersebut mengambil ayat : Yoh. 36 : 26 – 27, dan 2 Kor. 6 : 2. Ayat-ayat tersebut dijabarkan dalam beberapa pesan sehubungan dengan tahun baru 2012. Yaitu, hati manusia baru yang harus : di-destruksi (dibongkar), di-rekonstruksi (dibangun kembali),  di-finishing (diperindah/dihaluskan). Pemaparan firman yang diselingi sulap itulah yang menarik perhatian jemaat untuk mengikuti setiap pesan kotbah tanpa jenuh.

“Sulap itu bukan black magic  atau ilmu hitam. Permainan sulap hanyalah keterampilan bermain trik. Jadi, saya menyampaikan firman Tuhan dengan selingan sulap sebenarnya supaya jemaat lebih terfokus dengan kotbah saya, dan bukan sebaliknya. Atraksi sulap hanyalah media yang telah saya sesuaikan dengan tema kotbah,” tutur Pdt. Handoyo saat dimintai alasan mengapa harus memakai sulap ketika berkotbah. Apa yang telah disampaikan oleh pendeta yang sekaligus seorang pengusaha itu memang juga sudah dijelaskan kepada jemaat sebelum menyampaikan firman Tuhan. Hal ini sangat penting supaya jemaat tidak salah persepsi memahami kotbah dengan memakai media sulap.

Usai ibadah Minggu pagi, pendeta yang  bermotto iman : TAAT (Turut Allah Aman Terkendali) tersebut masih harus mengisi ibadah Anak Sekolah Minggu.Bertempat di ruang gereja GBI, firman yang disampaikan Pak Handoyo sangat menarik perhatian anak-anak.  Selain trik sulapnya bisa menghibur, pesan firman yang disampaikan tetap bisa dipahami mereka.Dalam menyampaikan firman Pak Handoyo memang bisa membaur bersama anak-anak, baik gaya dan bahasanya. “Om Jenggot, lain kali datang lagi ke Pasirian ya...?!” rengek Yosia saat menyalami Pak Jenggot usai kotbah untuk anak-anak. (Tim CMM/Mws/bambangmws.blogspot.com)